Konsep "mata ketiga" sering kali dikaitkan dengan kemampuan spiritual, intuisi mendalam, atau pandangan batin yang melampaui indra fisik. Dalam berbagai tradisi spiritual dan mistis di seluruh dunia, membuka mata ketiga dianggap sebagai jalan menuju pencerahan dan pemahaman yang lebih tinggi. Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Dalam Islam, fokus utama dalam pengembangan diri spiritual adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah, zikir, tafakur, dan pembersihan hati (tazkiyatun nafs). Meskipun istilah "mata ketiga" tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an maupun hadis, esensi dari apa yang sering diartikan sebagai mata ketiga—yaitu kejernihan batin, intuisi ilahi, dan pemahaman spiritual yang mendalam—sebenarnya sangat selaras dengan ajaran Islam.
Dalam Islam, 'nur' (cahaya) ilahi dapat menerangi hati seorang mukmin, memberikan pemahaman dan kebijaksanaan yang tidak diperoleh melalui akal semata. Ini sering disebut sebagai bashirah (pandangan batin) atau firasa. Sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, dikenal memiliki firasa yang tajam, di mana Allah SWT seringkali membenarkan pandangannya.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin, karena sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Allah." (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang mukmin yang taat, dengan cahaya iman yang menerangi hatinya, dapat memiliki pandangan atau firasat yang akurat dan benar, yang berasal dari petunjuk Allah SWT. Inilah esensi dari apa yang mungkin disamakan dengan "mata ketiga" dalam konteks spiritual Islam—kemampuan untuk melihat kebenaran dan hakikat sesuatu melalui pancaran cahaya ilahi di dalam hati.
Membuka atau mengasah kemampuan spiritual ini dalam Islam bukanlah melalui ritual mistis yang mengada-ada, melainkan melalui pengamalan ajaran agama secara sungguh-sungguh. Berikut adalah beberapa cara yang direkomendasikan:
Fondasi utama adalah keimanan yang teguh kepada Allah SWT dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan yang tulus akan membersihkan hati dan menjadikannya lebih peka terhadap bisikan kebenaran.
Meluangkan waktu untuk merenungkan ciptaan Allah, kebesaran-Nya, serta kelemahan diri sendiri. Tafakur yang mendalam dapat membawa seseorang pada pemahaman hakikat kehidupan dan tujuan penciptaan.
Berusaha untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti iri, dengki, sombong, riya', dan segala penyakit hati lainnya. Proses ini seringkali membutuhkan bimbingan dari seorang guru mursyid yang memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Menjauhi dosa-dosa besar maupun kecil, serta hal-hal yang dapat mengeraskan hati dan memutus hubungan spiritual dengan Allah, seperti ghibah, fitnah, dan kemaksiatan lainnya.
Memiliki pemahaman yang benar tentang Islam melalui sumber-sumber yang sahih adalah penting agar tidak tersesat dalam pemahaman spiritual.
Penting untuk diingat bahwa segala kemampuan spiritual dalam Islam haruslah bersumber dari ridha Allah SWT dan sesuai dengan syariat. Menginginkan kemampuan supranatural demi pamer, kepentingan duniawi, atau keluar dari ajaran Islam adalah sesuatu yang tercela dan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Fokus utama seorang Muslim adalah ibadah dan pengabdian kepada Allah.
Dengan menjaga kemurnian niat, ketaatan beribadah, dan keikhlasan dalam menjalankan ajaran agama, seorang Muslim yang saleh berpotensi untuk dianugerahi bashirah atau firasa yang tajam, yang merupakan manifestasi cahaya ilahi di dalam hatinya—sesuatu yang esensinya dapat disamakan dengan "mata ketiga" dalam pemahaman yang benar.